Merdeka Dalam Ketaatan
"Orang yang bebas yakni orang yang mengendalikan dirinya sendiri."
(Epictetus)
Dalam bukunya All You need is love: A live management wisdom, Pongki Pamungkas dalam salah kepingan membahas ihwal "Kebebasan" (freedom). Ia memulai dengan pemandangan sehari-hari di jalanan:
Ini suatu realita. Lalu lintas di negara kita sangat kacau. Satu aspek dari kekacauan itu yakni ketidakdisiplinan para pengendara kendaraaan, di samping masih banyak perkara yang lainnya menyerupai soal infrastruktur yang mampet, soal pegawanegeri yang "diam" dan penerapan aturan yang fleksibel.
Para pengendara cenderung semaunya sendiri. Jalan satu arah diterabas menjadi dua arah berlawanan. Ada aturan tidak boleh berputar, diterabas. Ada lampu lalu-lintas, diterabas. Semua aturan cenderung diterabas. Semua orang cenderung ingin bebas. Dengan kebebasan total berlalu-lintas, Anda sanggup membayangkan bila itu diterapkan, apa yang akan terjadi. Kendaraan akan bertabrakan satu dengan yang lain, lalu-lintas macet total dan pelbagai akhir jelek lebih lanjut bisa terjadi, semua orang murka dengan segala tindak lanjut kemarahannya. Sangat mungkin terjadi amuk massa. Alih-alih meneikmati kebebasan yang ada kacau balau. Tepatlah apa yang dikatakan Cullen Hightower, seorang penulis terkemuka pada masa Perang Dunia II, "Disiplin tanpa kebebasan yakni tirani; kebebasan tanpa disiplin yakni kekacauan."
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, momen pernyataan kemerdekaan suatu negara dari penjajahan oleh suatu negara lain, yakni awal dari ketidakmerdekaan negara eks terjajah sebagai kepingan dari komunitas dunia. Mengapa? Sebab komunitas dunia mempunyai perangkat tata tertib dan tatanan organisasi yang dibuat dan disepakati bersama seluruh warga dunia, semoga masing-masing negara mempunyai hak tetapi juga kewajiban yang dituangkan dalam bentuk tanggungjawab menjaga harmoni di dunia ini. Tidak ada negara yang boleh bebas semau-maunya sendiri! "Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai belenggu diri sendiri. Menjadi merdeka berarti hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain." (Nelson Mandela). Jadi, menjadi sebuah negara merdeka berarti siap juga menghormati bahkan melindungi hak-hak negara lain. Jika merasa bebas melaksanakan apa saja (baca: merdeka berdasarkan diri sendiri) maka yang terjadi kita sedang membangun tirani yang mengancam kebebasan atau kemerdekaan pihak lain!
"Tanggung jawab yakni harga yang harus dibayar oleh kebebasan," kata Elbert Hubbard. Meraih kebebasan berarti bersedia mengemban tanggung jawab. Sebab, tidak ada kebebasan yang sewenang-wenang yang dimiliki oleh manusia. "Kebebasan yakni hak untuk mendisiplinkan diri kita semoga kita tidak didisiplinkan oleh orang lain." (George Benjamin Clemenceau). Tidak ada kebebasan absolut. Yang ada hanya kebebasan relatif. Kebebasan relatif itu pun mempunyai persyaratannya sendiri. Sebutlah Lionel Messi, pemain bola terbaik di dunia. Ia bebas memainkan bola dan memenangkan timnya alasannya yakni dalam kesehariannya ia tidak bebas dari kewajiban untuk berlatih secara ketat. Demikian juga dengan Jim Petrucci, gitaris legendaris dari grup rock Dream Theatre, sangat bebas memainkan senar-senar gitarnya. Ia sangat bebas menyuarakan nada-nada indah alasannya yakni kesehariaannya ia tidak bebas untuk terus berlatih. Bagi Messi dan Petrucci, sudah menjadi rumus: tidak ada hari tanpa latihan. Kebebasan tidak sanggup diraih dengan melepaskan emosi diri, melainkan sebaliknya, kebebasan hanya akan bisa diraih dengan pengendalian diri.
Bagaimana dalam tatran iman atau spiritualitas ihwal kebebasan? Pada zaman Yesus, para rasul dan khususnya Paulus aturan Taurat telah begitu rupa mengikat dan membelenggu kehidupan umat. Para andal Taurat dan orang-orang Farisi menggunakannya bagaikan kuk yang menekan berat. Sementara esensi aturan itu terabaikan. Baik Yesus maupun Paulus banyak bersinggungan dengan Hukum Taurat ini. Kalau kita mengetik "Hukum Taurat" pada mesin pencari dalam Bibel elektronik kita maka yang paling banyak muncul ada di surat Paulus kepada jemaat di kota Roma. Mulai dari pasal dua dan seterusnya kita akan menjumpai uraian Paulus ihwal Hukum Taurat. Dan salah satu ayat yang paling populer khususnya untuk orang-orang Protestan yakni "Karena kami yakin, bahwa insan dibenarkan alasannya yakni iman, dan bukan alasannya yakni ia melaksanakan aturan Taurat." (Roma 3:28). Dari sini munculah dogma sola gratia, sola fide, sola scriptura.
Lantas apa yang kemudian terjadi ketika insan "dibebaskan" dari aturan Taurat? Eporia merdeka! Bebas melaksanakan apa pun alasannya yakni keselamatan yakni soal penebusan melalui Yesus. Kaprikornus jikalau dalam hidup keseharian melaksanakan pelanggaran moral, berdosa kini jadi simpel: tinggal mengaku dosa dan Tuhan Yesus yang Mahakasih itu akan mengampuni. Inilah yang menyedihkan! Celakanya, Paulus menjumpai di Roma ada banyak pengajar yang merasa bebas dan merdeka mengajarakan fatwa semaunya. Bahkan mengatasnamakan melayani Kristus padahal melayani diri sendiri. Paulus mengecam, "Sebab orang-orang yang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa yang manis mereka menipu orang-orang yang nrimo hati" (Roma16:18).
Padahal, pembebasan dari belenggu Taurat oleh Kristus bukan berarti hidup semau gue melainkan hidup mengikatkan diri pada norma nilai yang diteladanajarkan oleh Kristus. Kebebasannya kini yakni kebebasan bersama dengan Kristus. Kebebasan bukanlah kebablasan melainkan hidup dalam ketaatan kepada Kristus. Paulus memuji jemaat di Roma, Kabar ihwal ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu saya bersukacita ihwal kamu..." (Roma 16:19a). Namun, sepertinya ketaatan saja tidak cukup menghadapi banyaknya orang yang dengan bebas mengajarkan fatwa yang berbeda itu. Paulus melanjutkan, "Tetapi saya ingin supaya kau bijaksana terhadap apa yang baik, dan higienis terhadap apa yang jahat" (Roma 16:19b).
Ketaatan kepada Kristus dan perilaku hikmat bijaksana itulah yang diperlukan dalam kita mengisi kemerdekaan. Di dalam Kristus kita telah dimerdekakan dari belenggu dosa dan segala tuntutan Taurat namun pada dikala yang sama kita menjadi hamba-hamba Kristus. Hamba yang harus taat dan setia dalam mengikut-Nya dengan sukacita. Tetapi juga bijaksana memilah mana yang baik, benar dan pantas untuk dipilih dan dikerjakan.
Sama menyerupai Messi dan Petrucci, yang bebas memainkan bola dan gitar mereka. Namun, setiap hari tidak membebaskannya dari latihan yang ketat. Kita bebas mengekspresikan iman kita dengan bersukacita tetapi tidak membebaskan kita untuk setiap hari taat, setia dan tinggal bersama dengan-Nya.
Jakarta, HUT RI 2018
Sumber https://nananggki.blogspot.com/