Berbagi Kehidupan Di Tahun Penuh Harapan

Dalam cerita perjalanan hidup orang-orang sukses, ada sebuah benang merah: Mereka melihat cita-cita di balik kesulitan hidup. Mereka bisa memandang setiap duduk perkara dari sisi positif, sedangkan sisi negatif tidak menjadi fokus utamanya. Kita tidak akan bisa melihat harapan, apalagi menjadikannya sebuah kenyataan saat fokus kita terpaku pada sisi jelek dan negatifnya sebuah persoalan. Hari ini kita menginjak sejarah baru. Tahun yang baru, tahun 2019! Benar, ada banyak alasan untuk mata hati kita tertuju pada sisi kelam kehidupan mendatang. Kita tidak tahu siapa orang-orang yang akan terpilih dan berkuasa di negeri ini pada Pemilu 17 April mendatang. Akankah orang-orang baik yang terpilih? Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa calon-calon penguasa akan mengumbar janji-janji manis. Nyatanya, banyak dari mereka ingkar akad sesudah terpilih menjadi penguasa. Akankah perekonomian semakin membaik? Atau kah justru semakin terpuruk? Mampukah bangsa ini melewati krisis kebangsaan yang belakangan ini terus dikoyak demi ambisi politik?

Banyak orang membendung optimisme dan cita-cita masa depan dengan kebiasaannya sendiri. Salah satunya yaitu cara berpikir yang memandang segala sesuatu dari sisi “gelap”, dari aspek negatif dan pesimistis. Kondisi hati yang sering kali gusar jawaban menduga bahwa ke depan “mungkin akan terjadi sesuatu yang buruk.” Hal ini membuat seseorang sulit mengembangkan pelbagai bakat yang Tuhan percayakan. Ingatlah perumpamaan perihal bakat (Matius 25:14 -dst). Orang yang menerima satu bakat tidak melaksanakan apa pun kecuali mengubur satu bakat yang ia terima. Alasannya: pesimistis, takut dan berpandangan negatif!

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk melihat cita-cita itu?

Buang kebiasaan memandang segala sesuatu dari sisi gelap! Kemudian berguru membuat kebiasaan untuk maju ke depan dengan melihat sisi cerah, positif dan optimis. Janganlah menyerupai seorang yang melihat wanita cantik, tetapi yang terpikir olehnya isi perut yang kotor dari wanita tersebut. Cara hidup menyerupai ini bukanlah cara hidup optimis. Sudah mestinya kita membuat kebiasaan bersyukur dan memandang segala sesuatu dari sisi terangnya dan tidak memandang sisi gelapnya dalam hal apa pun dan terhadap siapa pun. Jangan mengakibatkan hati kita menjadi dangkal, yang tidak puas kalau tidak mengkritik satu atau dua kelemahan orang lain. Bahkan seringnya kita mencari-cari kesalahan mereka. Cobalah menerapkan kalimat bijak yang mengatakan, “Jadikanlah prinsip dalam berpikir dengan memuji orang di daerah tersembunyi.” Salah satu kebiasaan yang harus kita buang yaitu mencari-cari kelemahan orang. Jika kita hanya menumpuk kekurangan orang lain dalam hati kita, hal itu akan menjadi penyekat dalam kehidupan kita. Akibatnya, cahaya Tuhan maupun sosok indah yang berkilau akan lenyap dari diri kita. Kita tidak bisa melihat cahaya tuhan yang hadir dalam diri sesama.

Hati yang higienis dan cerah akan bisa melihat wajah Tuhan di balik orang-orang yang – berdasarkan pandangan umum dunia – tidak layak untuk dikasihi bahkan disamakan dengan sampah masyarakat. Bagi orang-orang dengan hati yang cerah, menyerupai Ibu Teresa, ia bisa melihat sisi positif, sisi baik dari orang-orang hina itu. Ia melihatnya sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan. Cara pandang  inilah yang memampukan seseorang untuk berbuat melaksanakan segala sesuatu yang bisa ia lakukan dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan cita-cita bersama dengan mereka yang sedang kehilangan harapan. 

Saya kira cara pandang menyerupai ini bukan perkara absurd bagi orang Kristen. Matius 25 :31-46 dalam bingkai penghakiman kiamat Yesus mengajarkan untuk peduli dan melaksanakan upaya-upaya konstruktif untuk menyayangi mereka yang dianggap paling hina. Meski memahami, tetapi tidak gampang untuk melakukannya. Kita terjebak pada contoh pikir jika saya memberi, maka niscaya ada yang kurang dari milik saya!Jika saya memberi, maka saya tidak akan punya lagi apa yang sudah saya berikan itu. Ini logis, rasional dan secara matematis begitu. Contohnya, kalau saya menawarkan beberapa camilan manis milik saya, maka saya akan kehilangan beberapa potong camilan manis itu. Konsep ini sangat berkaitan dengan pemahaman bahwa segala sesuatu “milik” saya mempunyai kegunaan untuk kesenangan saya pribadi, maka segala tujuannya diarahkan untuk kemauan sendiri. Apakah selamanya akan begitu, bahwa saat kita mengembangkan maka kita akan kekurangan dan apa yang kita punya harus dinikmati untuk kesenangan pribadi?

James Bryan Smith dalam bukunya, “The Good and Beautiful Community”, mengingatkan kita bahwa kalau kita saling berbagi, maka kita akan selalu berkecukupan. Ketika umat Israel berjalan menuju tanah perjanjian, mereka kehabisan makanan. Allah menyediakan kuliner bagi mereka dalam bentuk manna.Mereka dihentikan menyimpan kuliner itu alasannya yaitu akan menjadi busuk dan berulat. Di sinilah Allah sedang mengajarkan umat-Nya untuk bergantung kepada penyediaan-Nya setiap hari. Namun, insan mempunyai kecenderungan mengambil lebih dari yang mereka perlukan. Sayangnya, lantaran ada yang mengambil lebih, maka ada yang kekurangan.

Mengapa kita cenderung berlebihan? Karena kita menduga bahwa tidak semua orang akan kebagian, maka dari itulah kita mengambil sebisa mungkin yang sanggup kita ambil. Inilah sebenarnya kekurangan  itu. Akan tetapi konsep ini sanggup diatasi dengan saling mengembangkan secukupnya. Para jago menyampaikan bahwa yaitu lebih dari cukup alam raya ini menyediakan sumber dayanya untuk mengatasi tragedi kelaparan di seluruh muka bumi, namun sayangnya terdapat manusia-manusia rakus yang mencegah untuk mengatasi tragedi itu. 

Kebalikan dengan konsep “yang ada pada saya yaitu milik saya”, seharusnya, “apa yang tampaknya merupakan milik saya, bersama-sama yaitu milik Allah.” Tidak ada satu pun yang saya miliki yang tidak berasal dari Allah. Kita cenderung berpikir bahwa segala yang ada pada kita yaitu kepunyaan kita, maka dari itu yaitu hak kita untuk menggunakannya sesuai dengan apa yang kita mau. Ketika kita benar-benar memegang teguh pandangan dan cara hidup menyerupai ini, maka bersama-sama kita sedang merampok “milik Allah” itu. Seharusnya kita menyampaikan bahwa, “apa yang merupakan milik saya bersama-sama bukan kepunyaan saya, melainkan milik Allah,” maka dari itu kita  harus bertanya, “bagaimana saya harus memakai karunia saya?”

Tuhan menghendaki kita bukan menjadi seorang egois dan egosentris

Masa depan tentu penuh dengan cita-cita saat kita memandangnya dari sisi cerah, positif dan optimis. Rancangan masa depan dari Allah yaitu rancangan tenang sejahtera, dan Dia ingin melibatkan kita di dalamnya. Jadi, kita harus mengambil bagian. Tuhan ingin memulai dari diri kita. Di sekitar kita ada banyak orang yang dalam kriteria Yesus disebutkan saudara-Ku yang paling hina ini.Apa yang kita lakukan terhadap mereka? Jangan berharap kita nanti ada di sebelah kanan Sang Rajaatau domba saat kita bergeming melihat saudara-saudara dan sesama kita bergulat dengan penderitaannya sementara kita sibuk melayani keinginan diri sendiri!  

Selamat Tahun Baru 1 Januari 2019, Tuhan memberkati!

Sumber https://nananggki.blogspot.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel