Contoh Cerpen Judul Karbon Dioksida Karya Dwi Pommy Pebrianti

Contoh Cerpen Judul Karbon Dioksida Karya Dwi Pommy Pebrianti blog goeroe Contoh Cerpen Judul Karbon Dioksida Karya Dwi Pommy Pebrianti
Contoh Cerpen Judul Karbon Dioksida Karya Dwi Pommy Pebrianti
Contoh Cerpen
Karbon Dioksida
Karya: Dwi Pommy Pebrianti
 
          Aku rasa, semua orang satu bunyi perihal hal ini. Kita, insan gak sanggup hidup tanpa udara. Gak sanggup hidup jikalau gak ada oksigen. Tapi, saya rasa saya bukanlah satu diantara semua bunyi itu. Menurutku, kita gak sanggup hidup jikalau karbon dioksida gak ada. Kenapa? Kita sanggup oksigen dari mana? Tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan oksigen harus ngerubah apa dulu? Karbon dioksida. Dan dia membantuku kembali berpijak pada bumi. Iya, dia. Sebuah Karbon. ***
          Berpisah dengan orang terdekat memang mengerikan. Berada di antara orang-orang gres dan gak tahu harus bagaimana, itu menyulitkan. Namun hal ini tak akan menyurutkan semangatku untuk mendapatkan predikat  juara satu (lagi). I can. Cause I think I can.
           Ngomong-ngomong, dia, iya dia, orang yang pernah ku temui di masjid sekolah semester lalu, se kelas denganku?
***
          “Dwi, kau nanti jadi MC, ya?” pinta ketua Osis padaku, saya mengangguk.
         “Oh iya, sama Aldri!”  tambahnya. Aldri? Kenapa harus sama Aldri? Ku tatap dia lekat-lekat. Namun, saya tak tahu kenapa tiba-tiba kami tak jadi dipasangkan.
***
           Iya, itu dia, namanya Aldri. Sesosok mahkluk berkacamata, berperawakan sedang, dan cukup manis, saya rasa!  Tapi, kok ini anak abnormal banget, ya! Lebih banyak diam ketimbang bicara. Bahkan sanggup dibilang gak bicara sama sekali. Aneh!
Pernah suatu hari sebelum pelajaran di mulai, ku dapati dia sedang membaca buku. Rajin, pikirku. Aku tersenyum. Posisi duduknya di belakang, membuatku leluasa untuk memperhatikannya.
           “Win, Loe kenapa senyum-senyum sendiri?”
           “Hah, iya?” Aku tersentak. Rupanya Indah dari tadi memperhatikanku yang sedang abnormal ini.
           “Ah, nggak!” jawabku sambil merubah posisi duduk ke arah depan.
Setelah hari demi hari ku perhatikan, dia memang berbeda. Entahlah, saya tak sanggup menjelaskan apa yang sedang ku rasakan.  Namun dikala melihatnya, saya tak tahan untuk tidak tersenyum.
Satu bulan saya dan Adri satu kelas. Dalam kurun waktu satu bulan Aldri memang tetap diam. Tapi, ketika jam pelajaran di mulai, dengan lihai nya dia menarik semua perhatian guru. Terutama dikala pelajaran kimia. Saat itu rasa takut tersaingi lebih mayoritas daripada rasa suka yang sudah usang meranum.
           Hari itu, kami sedang berguru kimia. Duh, tak sanggup ku gambarkan betapa kesalnya saya pada si Aldri. Hmm, bekerjsama Aldri gak salah. Hanya saja kenapa Bu Guru selalu menyebut nyebut namanya? Sedikit-sedikit niscaya Aldri.
“Dasar Karbon!” celetuk ku sambil memukul meja.
          “Astagfirullah, Dwina, istigfar! Lagian juga jikalau Lo suka sama kimia, jangan se antusias, gitu, kenapa?” Indah yang duduk di samping ku sedikit marah.
“Lo gak nyadar apa, yang suka kimia tuh bukan gue, tuh si Karbon!” tungkas ku sedikit kesal.
“Oo, maksud Loe, Aldri, Win?” Indah mangut-mangut. 
“Ya, iyalah! Badan penuh karbon kaya gitu, mana mungkin gak suka pelajaran kimia!”
“Eh, Loe jangan ngehina gitu, dong!” balas Indah kepadaku dengan serius.
“Becanda kali. Ah, udah ah! Gue mau cabut ke kantin!” segera ku langkah kan kaki ku menuju kantin. Indah juga ikut. Dia udah biasa kena imbasnya jikalau saya sedang kesal. Satu hal yang ku suka dari Indah, dia gak pernah sampe murka jikalau lagi kayak gini. Maklum, dari Sekolah Menengah Pertama kita bareng-bareng.
Tiba-tiba...
Daakkk. Aku bertubrukkan dengan seseorang.
“Maaf, maaf” katanya,  berusaha menolongku yang sudah terjatuh ke lantai dengan buku yang berantakan dimana-mana, yang niscaya itu bukan punyaku. Saat ku dongakkan kepala,
“Aldri?”
“Dwina? Maaf- maaf, saya tadi buru-buru. Makara saya gak sempat lihat kamu!” tak sepatah kata pun keluar dari mulut. Cepat-cepat saya berlari dan meninggalkan Aldri yang diam mematung menatapku dengan rasa bersalahnya.
***
Satu ahad sehabis insiden si Karbon menubrukku. Ya, kini panggil saja dia Karbon, saya sudah terlampau kesal.
Hari ini, hari Senin. Guru bahasa Indonesia menyuruhku untuk menyimpan buku kiprah belum dewasa ke ruang guru. Setelah ku dapati mejanya, ku simpan setumpukkan buku bersampul cokelat itu di atasnya.
“Aldri..” seorang guru memanggil nama yang sudah tak asing lag. Yap, si Karbon.  Ternyata ia guru matematika.
“Aldri, kau mau ikutan olimpiade matematika?” saya terperangah. Begitu mudahnya ia memperlihatkan tiket berharga itu. Tiket yang ku idam-idamkan semenjak dulu.
“Tidak, Bu.” jawab Aldri sesingkat mungkin.
“Lho, kenapa? Ibu lihat kau cendekia sekali dalam pelajaran matematika.”
    “Tidak, Bu, saya tidak minat pada matematika. Minat saya pada kimia.” Apa? Si Karbon itu? Bisa-biasanya dia ngomong kaya gitu. Dasar rese! Segera ku tinggalkan ruang guru dengan perasaan kesal yang tertinggal. Tanpa sadar, saya berpapasan dengan si Karbon di luar. Di luar dugaan, dia menghentikanku
“Dwina, kau belum maafin saya.” What? Ini Karbon sanggup minggir gak sih, semenjak kapan dia suka ngomong sama orang?
“Udah gue maafin” jawabku sambil berlalu meninggalkannya. Dia mencegatku
“Kamu kenapa? Kamu gak suka sama saya? Kalau ini alasannya saya waktu itu gak sengaja nubruk kamu, saya kan sudah minta maaf”
“Loe tuh ya! Dari awal kita se kelas, Gue udah gak suka sama loe!”
“Memang salah saya apa?”
“Loe nanya salah loe apa? Loe tuh belagu. Loe tuh so deket sama guru,so pinter! Sampe- sampe ajuan olimpiade aja loe tolak! Gue gak suka sama loe, semua guru loe curi perhatiannya. Gue benci!” Setelah saya selesai bicara, Aldri diam tak bergeming. Perlahan dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkanku.
“Dasar Karbon!” Teriak ku kesal. Aldri yang sudah berjalan cuku jauh berbalik arah dan berjalan mendekatiku..
“Terimakasih sudah tidak menyukai saya. Tapi maaf, saya sama sekali tidak membencimu.”
Aku terdiam. Kenapa malah saya yang merasa di tusuk belati? Kenapa dia gak marah?
***
Hari demi hari ku lalui, ulangan demi ulangan saling bergantian menyapa. Kenyataan yang harus selalu ku terima yaitu selalu menjadi yang kedua sehabis si Karbon. Hingga satu semester berlalu, kenyataan pahit yang ku dapatkan. Menjadi nomor dua untuk ke sekian kalinya setalah si Karbon.
Semua orang sudah pulang, hanya saya seorang yang masih tinggal. Duduk di sudut pojok kelas tak usang kemudian saya menangis. Aku tak kuasa menahan semua ini, untuk pertama kalinya saya menerima peringkat dua. Kenapa begini? Apa saya kurang berusaha? Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk menjadi yang pertama. Kenapa?
Tak berselang lama, terdengar bunyi pintu kelas di buka. Itu dia, sang juara kelas. Diaa tiba menyambangiku. Entah, mungkin hendak memamerkan kemenangannya.
“Selamat” Aldri Karbon itu bangun di depanku.
“Apa, Loe? Mau pamer?” kataku sambil mengusap pipi yang sudah berair alasannya hujan deras yang diproduksi oleh mata.
“Kamu tahu  bedanya kau sama saya?” Diam. Tak ku jawab pertanyaannya.
“Kamu terlalu di perbudak oleh ambisimu. Kamu berguru untuk memenuhi ambisi besarmu itu. Segala cara saya lakukan untuk memenuhinya. Dampaknya kau gak sanggup mendapatkan kenyataan bahwa masih ada langit di atas langit. Jiwamu tak sanggup berdamai dengan kerendahan hati.” Aku diam membisu. Semua yang Karbon itu ucapkan seolah anak panah yang sempurna mengenain sasarannya. Hatiku.
***
Dua tahun berlalu, hari ini yaitu hari bersejarah. Tiga tahun mengeyam pendidikan di dingklik SMA, jadinya hari ini saya lulus.
Aldri Karbon itu tentu saja menjadi lulusan terbaik. Aku? Aku lulusan terbaik setelahnya.
“Selamat ya, Karbon!” bisikku padanya.
“Kamu juga, Dioksida!” Aldri senyum padaku.
***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel