30 Tahun Gki : Bersama Mengukir Narasi Cinta Bagi Bangsa


Seorang Guru Sufi ditanya wacana dua keadaan manusia: Manakah yang lebih baik apakah insan yang rajin sekali beribadah namun sombong, arogan dan selalu merasa dirinya suci dan lebih saleh ketimbang yang lain. Ataukah insan yang tidak pernah beribadah, namun mempunyai aksara mulia, rendah hati, santun, lembut dan menyayangi sesama menyerupai dirinya sendiri?

Sang Guru Sufi berpikir sejenak kemudian sambil tersenyum, beliau menjawab, "Keduanya baik! Sebab, bisa saja suatu dikala orang yang sangat rajin beribadah tetapi sombong, suatu ketika akan menemukan kesadaran wacana karakternya yang buruk itu kemudian ia bertobat dan menjadi langsung yang sangat baik lahir dan batin. Sebaliknya, insan yang tidak pernah beribadah namun ahlaknya baik, bisa jadi suatu dikala ia menerima pencerahan dan ia menjadi seorang yang rajin beribadah, lantaran bagaimanapun ibadah yang benar harus menginspirasi tingkah laris orang yang beribadah itu!"

Tampaknya orang tersebut tidak puas dengan balasan Sang Guru Sufi itu. Ia bertanya lagi, "Kalau semuanya baik, kemudian siapakah orang yang tidak baik itu?"

Tanpa membuang waktu panjang, Sang Guru Sufi menjawab,"Yang tidak baik itu yakni orang menyerupai kita ini: orang ketiga yang selalu bisa menilai orang lain, namun lalai dalam menilai dan mengkritisi diri sendiri!"

Menilai orang lain selalu praktis dilakukan. Kita praktis membicarakan kejelekan orang lain lantaran merasa sudah lebih baik dari mereka. Ketika bercermin, terkadang merasa diri sudah mulia, baik hati, sudah beribadah dengan menjalankan syareat agama dengan baik, merasa paling agamis sedunia, tidak pernah bermaksiat, tidak pernah berzinah, bukan perampok, bukan pembunuh, rajin bersedekah, berdoa dan berpuasa. Ya, pendek kata selalu menjadi orang yang paling benar.

Bisa jadi orang Israel merasa diri sebagai andal ibadah ketika membandingkan mereka dengan orang-orang di luar bangsa dan keyakinan mereka. Ya, tentu ada dasarnya mengapa mereka berbangga. Ulangan 10:15 sering menjadi referensinya, "..., tetapi hanya oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat sehingga Ia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilih-Nya dari segala bangsa, menyerupai kini ini."  Tak pelak lagi firman ini begitu ekslusif, terasa Allah tidak tertarik dengan bangsa lain. Israel begitu Istimewa bagi TUHAN. Dan inilah yang kemudian menyebabkan Israel sangat yakin hanya merekalah yang dipilih dan sangat disayangi TUHAN.

Benar aroma ekslusivitas firman ini begitu menyengat. Namun, jangan lupa juga konteks di mana firman itu diperdengarkan. Penulisan kitab Ulangan ditujukan untuk menegaskan kembali Israel akan kiprah panggilan mereka sebagai bangsa pilihan. Ulangan, di dalamnya mengulang kembali dongeng penyertaan Allah sekaligus respons bangsa itu terhadap kasih karunia Allah. Kuatnya nada ekslusivitas yang didengungkan kitab Ulangan juga berkaitan dengan sinkretisme yang larut dalam umat itu. Sinkretisme yang tidak hanya terjadi pada ritus dan ritual ibadah tetapi juga dalam kehidupan kawin-mawin dengan bangsa asing. Tentu saja ini sangat memengaruhi identitas mereka. Di satu pihak, mereka masih memelihara hukum-hukum dan ritual. Namun, pada pihak lain aksara mereka sama menyerupai bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal TUHAN.

Watak ekslusif tidak sepenuhnya keliru. Alm. Pdt.Em. Eka Darmaputera pernah menyatakan bahwa gereja harus fanatis, tanpa harus terjebak dalam fanatisme sempit. Kehidupan apa pun (keluarga, komunitas, gereja, negara, dst) membutuhkan ranah ekslusif begitu juga dengan iman. Namun, tidak harus kita terjerumus pada perilaku ekslusivisme sempit. Bayangkan, kalau kehidupan keluarga tidak ada ruang privasi dan ekslusif? Semua terbuka dan "telanjang" tentu rumah kita bagaikan mall. Bayangkan juga kalau sebuah komunitas, gereja atau negara tidak ada ikatan-ikatan yang bersifat ekslusif yang menjadi identitas diri, tentu akan terjadi kekacauan.

Belajar dari umat TUHAN, Israel punya korelasi ekslusif dengan Allah dan itu tidak usah dipungkiri. TUHAN menginginkan korelasi yang esklusif ini justeru dimaksudkan supaya Israel menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Bukan sebaliknya, membangun menara pujian semu sambil memandang rendah bangsa lain.

Ketika TUHAN menolong dan terus mengasihi Israel, Ia tidak meminta banyak hal untuk mereka lakukan. TUHAN hanya meminta mereka takut akan Dia, memuji dan beribadah kepada-Nya, serta hidup berdasarkan jalan yang ditunjukkan-Nya. Hal ini, bukanlah perintah yang berat. Israel juga harus menyadari bahwa bukan lantaran kebaikan mereka, tetapi lantaran kasih TUHANlah sehingga mereka terpilih menjadi umat-Nya. Maka wajarlah kalau Ia meminta Israel untuk taat beribadah kepada-Nya. Namun, nyatanya dalam perjalanan menuju negeri perjanjian, Israel kerap kali digambarkan sebagai umat yang tegar tengkuk. Melakukan memisahan antara ritus ibadah dengan realita kehidupan.

Allah tidak menghendaki umat-Nya menggantikan kasih mereka yang sepenuh hati dengan upacara-upacara agama yang formal. Untuk itu, TUHAN memerintahkan supaya umat Israel melaksanakan "sunat hati" yang dikontraskan dengan perilaku tegar tengkuk (Ul.10:16). Sunat menunjukan ritual penting umat Israel yang menciptakan mereka mempunyai identitas berbeda dari bangsa lain. Namun, nyatanya mereka telah terjebak pada identitas harfiah, hanya menyentuh pecahan luar manusia. Mereka tetap saja tegar tengkuk, hidup mengumbar ambisinya sendiri. Itulah sebabnya, TUHAN meminta mereka menyunatkan hati. Hal ini berarti, Israel harus menjaga hati dalam kekuduskan dan melembutkannya untuk sanggup mendengar dan menaati TUHAN. "Sunat hati" akan menciptakan mereka tahu bunyi kebenaran yang sebetulnya itu. Suara itu akan bermuara bahwa TUHAN Sang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya yakni Allah sumber kasih, yang mengasihi seluruh ciptaan-Nya!

Sebuah hal menarik diperlihatkan TUHAN kepada umat-Nya. Umat Allah pada waktu itu banyak terpengaruh oleh kultus ibadah dan moralitas bangsa-bangsa di sekitarnya. Logika sederhana untuk mengatasi dan menjaga kemurnian Israel praktis saja : lenyapkan pengaruh-pengaruh buruk itu. Bukankah bagi Allah sangat praktis menumpas musuh-musuh Israel? Namun, cara itu tidak digunakan Allah. Alih-alih menyingkirkan bangsa absurd yang telah memperlihatkan imbas buruk, Allah meminta umat-Nya untuk mengasihi mereka. Allah mengingatkan mereka kembali bahwa dulunya pun mereka yakni bangsa absurd di Mesir. Selain itu, tindakan kasih yang TUHAN perintahkan yakni menegakkan keadilan (Ul.10:17,18). Sebutan "hak anak yatim dan janda" menunjuk pada kalangan yang paling lemah. Kepada merekalah umat Israel diminta untuk memperjuangkan hak-haknya. Semangat untuk kembali mempunyai identitas sebagai umat Allah justeru ditunjukkan Allah bukan melalui formalitas ritual ibadah, korban-korban bakaran dan sunat, melainkan melalui ritus sosial yang memberdayakan sesama, membela yang tertindas, menderita dan terpinggirkan.

Kehidupan kita tidak jauh dari kaum tertindas, miskin, menderita, terdampak tragedi dan terpinggirkan. Ibadah menyerupai apa yang mestinya terjadi dan dikembangkan dalam gereja?

Hari ini kita merayakan HUT GKI ke-30. Tepatnya, penyatuan dari tiga sinode menjadi satu Sinode Gereja Katolik Indonesia pada 26 Agustus 1988. Penyatuan tiga sinode dengan budaya bergereja yang berbeda bukanlah perkara yang gampang. "Bersama mengukir narasi cinta bangsa", itulah tema kita hari ini. Tema yang berbau nasionalisme. Apakah GKI belakangan ini menjadi latah dengan eforia gerakan-gerekan nasionalisme sebagai reaksi dari gerakan radikalisme yang berusaha menggerus Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan NKRI?

GKI mustahil dilepaskan dari semangat cinta bangsa. Sejak semula para pendiri menamakan gereja kita dengan Gereja Katolik Indonesia, bukan Gereja Katolik di Indonesia. Itu artinya, dengan sadar bahwa pendahulu kita - dan kita dikala ini - yakni bangsa Indonesia yang menghayati dogma percaya kepada Kristus. GKI mengakui bahwa dirinya yakni pecahan dari bangsa Indonesia, layaknya orang lain juga yang bahu-membahu hadir dan berjuang di negeri ini. Maka tidaklah keliru atau latah bahwa kita harus berjuang mempertahankan NKRI yang kini terus digerogoti. Berjuang bersama, itu berarti kita mau bergandengan tangan bahu-membahu pihak lain dalam menyatakan cinta kasih Allah kepada bangsa ini.  

Jelas sebagai orang-orang Kristen, GKI punya identitas, dogma yang ekslusif terhadap Tuhan Yesus. Namun, bukan berarti bahwa kita sibuk membentengi diri, merasa diri sebagai bawah umur Tuhan yang berbeda dengan "mereka" yang lain. Di sinilah, keyakinan iman, identitas, dan keintiman kita dengan Kristus diuji! Sama menyerupai Israel dulu yang diminta untuk menyunatkan hati dan memberlakukan kasih Allah. Dalam konteks kita pun, Yesus menginginkan kita berkarya dalam meneruskan cinta kasih-Nya kepada dunia ini. Ibadah dan pelaksanaan ritual formal di gereja, benar bisa menunjukan identitas kita. Namun, yang jauh lebih penting dari itu yakni menghidupkan cinta kasih Allah itu menjadi narasi konkrit. "Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama insan menyerupai diri sendiri yakni jauh lebih utama dari semua korban bakaran dan korban sembelihan. Yesus melihat bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: 'Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!'" (Markus 12:33,34)

Bagaimana, GKI: Anda dan saya, apakah kita jauh dari Kerajaan Allah? Ataukah Kerajaan Allah telah, sedang dan akan ada dalam GKI di tengah-tengah bangsa ini?

SELAMAT MERAYAKAN HUT GKI KE-30 TAHUN "BERSAMA MENGUKIR NARASI CINTA BANGSA"

Jakarta, 24 Agustus 2018
Sumber https://nananggki.blogspot.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel